Jumat, 29 Agustus 2008

Koalisi Politik Baik bagi Ekonomi

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Oleh Umar Juoro

Menjelang Pemilu 2009 tokoh-tokok politik banyak berbicara mengenai kemungkinan koalisi politik. Belakangan ini kemungkinan koalisi politik dimunculkan oleh tokoh PDI-P dan Golkar. Sebelumnya beredar pendapat mengenai pentingnya koalisi politik ”permanen” di antara beberapa partai politik untuk menjamin kekompakan dan kinerja kabinet.

Jika para tokoh politik membicarakan koalisi pada umumnya adalah dalam rangka merebut kekuasaan, pertanyaan yang relevan bagi masyarakat banyak adalah apakah koalisi politik baik bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pertanyaan ini penting karena dari berbagai survei permasalahan ekonomi, terutama berkaitan dengan kesempatan kerja, harga kebutuhan pokok, dan kemiskinan merupakan isu utama yang menjadi perhatian para pemilih.

Efektif atau rapuh

Pengalaman kita dalam koalisi politik tidaklah banyak apalagi jika dikaitkan dengan keberhasilan dalam pembangunan ekonomi. Pengalaman yang jelas adalah bahwa mayoritas suara di DPR yang mendukung pemerintah adalah menentukan keberhasilan kebijakan ekonomi. Hal ini ditunjukkan pada masa pemerintahan Soeharto dan sedikit banyak dalam pemerintahan BJ Habibie.

Pada masa pemerintahan Soeharto para menteri ekonomi berkonsentrasi penuh dalam merencanakan dan mengimplementasikan kebijakan ekonomi tanpa diganggu oleh permasalahan politik. DPR yang didominasi Golkar yang loyal terhadap pemerintah memberikan jaminan dukungan politik parlemen. Sementara ABRI pada saat itu menjaga keamanan.

Pada masa pemerintahan BJ Habibie dalam situasi politik yang hiruk-pikuk dan krisis ekonomi yang dalam, kebijakan ekonomi dapat dikatakan efektif karena Golkar masih mendominasi DPR yang mendukung penuh pemerintah, sekalipun para demonstran menentang keabsahan DPR. Pada masa pemerintahan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), koalisi yang dibentuk dapat dikatakan rapuh sehingga bukan saja kebijakan ekonomi tidak dapat berjalan efektif, antara lain karena kurangnya dukungan politik, bahkan Gus Dur sendiri sebagai presiden kemudian dijatuhkan oleh MPR.

Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, sekalipun PDI-P tidaklah mayoritas, tetapi memiliki kursi terbanyak di DPR, stabilitas politik dan dukungan DPR terhadap kebijakan pemerintah cukup baik. Kebijakan ekonomi dalam banyak hal dapat lebih efektif dibandingkan dengan pemerintahan Gus Dur. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, koalisi politik yang dibentuk sebenarnya juga tidak efektif, tetapi karena presiden dipilih langsung dan Golkar sebagai partai dengan kursi terbanyak di DPR sepenuhnya mendukung pemerintah, sekalipun awalnya bukan merupakan bagian koalisi politik yang mengusung Yudhoyono, beberapa kebijakan ekonomi dapat efektif. Namun, dukungan koalisi sangatlah lemah, terutama pada saat kebijakan kontroversial, seperti kenaikan harga BBM, dilakukan.

Sistem politik campuran

Dari pengalaman tersebut jelaslah bahwa dukungan politik yang kuat dari DPR terhadap kebijakan pemerintah sangatlah diperlukan. Dukungan politik ini juga memberikan pesan kuat kepada birokrasi bahwa pemerintah secara politik harus kuat sehingga birokrasi dapat lebih digerakkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Begitu pula pesan kuat ini akan terasa di tingkat daerah dan masyarakat luas yang penting dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah.

Tentu saja mendapatkan dukungan politik yang kuat dari DPR sangatlah sulit dalam masa demokrasi terbuka ini. Membentuk koalisi juga tidaklah mudah. Namun, pesannya jelas semakin kuat dukungan politik baik itu didapatkan dari mayoritas suara di DPR maupun koalisi politik sangatlah penting bagi efektivitas kebijakan ekonomi. Sebagaimana juga di tingkat mikro perusahaan, kejelasan kekuatan pemegang saham mayoritas lebih baik bagi kinerja perusahaan dibandingkan dengan kepemilikan saham yang tersebar yang membuat manajemen tidak mempunyai kendali dan arahan yang jelas.

Apakah koalisi Golkar dan PDI-P mungkin terjadi? Mungkin saja, apalagi jika ditambah dengan partai Islam untuk menghindarkan dikotomi antara partai nasionalis dan Islam. Begitu pula bentuk koalisi ”permanen” lainnya. Penentuan calon presiden dari koalisi ini dapat dilakukan secara akal sehat atau yang umum dilakukan, yaitu partai pemenanglah yang berhak mendapatkan jatah capres.

Permasalahannya adalah sistem politik Indonesia adalah campuran antara parlementer dan presidensial sehingga koalisi partai sekalipun mayoritas dalam jumlah kursi di DPR belum tentu capres yang diajukan akan dipilih dalam pemilihan langsung. Namun, ini menjadi pembelajaran penting karena pemilih juga akan semakin terdidik akan pentingnya dukungan politik yang kuat bagi pembangunan ekonomi.

Jika pemilih memilih presiden tanpa dukungan kuat politik di DPR sekalipun dipilih langsung, akan sulit menjalankan kebijakan yang efektif. Demikian pula pesan kuat juga diberikan pemilih kepada parpol dan koalisi yang dibentuknya, jika pemilih tidak memilih presiden yang diajukannya kemungkinan adalah bukan saja capres itu tidak populer, tetapi juga koalisi tersebut tidak efektif atau tidak dihargai tinggi oleh pemilih.

Singkatnya, pembentukan koalisi politik akan lebih banyak memberikan manfaat bagi perkembangan demokrasi dan bagi dukungan terhadap efektivitas kebijakan ekonomi. Substansi politik adalah sarana bagi pencapaian tujuan bersama, yang berarti semakin kita dapat mengagregasikan dukungan, antara lain dalam bentuk koalisi ”permanen” yang tidak oportunistis akan semakin besar kemungkinan untuk mencapai tujuan bersama itu, khususnya dalam memajukan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Umar Juoro Ketua Center for Information and Development Studies (Cides); Senior Fellow the Habibie Center

[ Kembali ]

Tidak ada komentar: