Minggu, 31 Agustus 2008

Pancasila Masih Dibutuhkan

Ideologi bangsa
Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 1 September 2008

Jakarta, Kompas - Pancasila masih dibutuhkan bangsa Indonesia. Namun, Pancasila saat ini cenderung hanya menjadi ideologi simbol dan belum menjadi ideologi yang bekerja.

Pancasila merupakan jawaban atas pluralisme. Ini makna penting Pancasila dalam proses transformasi bangsa Indonesia saat ini,” kata sosiolog dari Universitas Airlangga, Surabaya, Daniel Sparringa, Jumat (29/8), saat dihubungi dari Jakarta.

Arti penting Pancasila tersebut, lanjut dia, sama dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan jawaban atas faham multikulturalisme.

Namun, Pancasila saat ini cenderung hanya menjadi simbol ideologi. Ini karena ideologi yang mengiringi kelahirannya sekarang sudah tak berkembang. Kelima sila di Pancasila sebenarnya menggambarkan lima ideologi yang berkembang pada tahun 1940-an.

”Ironisnya, setelah 60 tahun, dari kelima ideologi itu, sekarang tidak ada yang berkembang pesat. Yang sekarang dominan justru kapitalisme atau liberalisme, faham yang sebenarnya banyak ditentang oleh para pendiri bangsa,” kata Daniel.

Sementara itu, dalam peluncuran buku Agus Sudono dalam Kancah Politik: Kerjasama Sipil dan MiIiter, Ambil alih Perusahaan-perusahaan Belanda dan Munculnya Gagasan Dwifungsi ABRI, pengamat politik dari Universitas Indonesia, Fachry Ali, mengatakan, kondisi saat ini berbeda dengan pengalaman kolektif bangsa Indonesia.

”Para pendiri bangsa menggali Pancasila dari model bangsa yang guyub. Namun, model itu sekarang sudah diganti dengan pasar bebas, liberalisme. Ini yang sekarang memunculkan sejumlah masalah bangsa,” ucap Fachry. (NWO)

[ Kembali ]

Jumat, 29 Agustus 2008

Koalisi Politik Baik bagi Ekonomi

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Oleh Umar Juoro

Menjelang Pemilu 2009 tokoh-tokok politik banyak berbicara mengenai kemungkinan koalisi politik. Belakangan ini kemungkinan koalisi politik dimunculkan oleh tokoh PDI-P dan Golkar. Sebelumnya beredar pendapat mengenai pentingnya koalisi politik ”permanen” di antara beberapa partai politik untuk menjamin kekompakan dan kinerja kabinet.

Jika para tokoh politik membicarakan koalisi pada umumnya adalah dalam rangka merebut kekuasaan, pertanyaan yang relevan bagi masyarakat banyak adalah apakah koalisi politik baik bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pertanyaan ini penting karena dari berbagai survei permasalahan ekonomi, terutama berkaitan dengan kesempatan kerja, harga kebutuhan pokok, dan kemiskinan merupakan isu utama yang menjadi perhatian para pemilih.

Efektif atau rapuh

Pengalaman kita dalam koalisi politik tidaklah banyak apalagi jika dikaitkan dengan keberhasilan dalam pembangunan ekonomi. Pengalaman yang jelas adalah bahwa mayoritas suara di DPR yang mendukung pemerintah adalah menentukan keberhasilan kebijakan ekonomi. Hal ini ditunjukkan pada masa pemerintahan Soeharto dan sedikit banyak dalam pemerintahan BJ Habibie.

Pada masa pemerintahan Soeharto para menteri ekonomi berkonsentrasi penuh dalam merencanakan dan mengimplementasikan kebijakan ekonomi tanpa diganggu oleh permasalahan politik. DPR yang didominasi Golkar yang loyal terhadap pemerintah memberikan jaminan dukungan politik parlemen. Sementara ABRI pada saat itu menjaga keamanan.

Pada masa pemerintahan BJ Habibie dalam situasi politik yang hiruk-pikuk dan krisis ekonomi yang dalam, kebijakan ekonomi dapat dikatakan efektif karena Golkar masih mendominasi DPR yang mendukung penuh pemerintah, sekalipun para demonstran menentang keabsahan DPR. Pada masa pemerintahan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), koalisi yang dibentuk dapat dikatakan rapuh sehingga bukan saja kebijakan ekonomi tidak dapat berjalan efektif, antara lain karena kurangnya dukungan politik, bahkan Gus Dur sendiri sebagai presiden kemudian dijatuhkan oleh MPR.

Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, sekalipun PDI-P tidaklah mayoritas, tetapi memiliki kursi terbanyak di DPR, stabilitas politik dan dukungan DPR terhadap kebijakan pemerintah cukup baik. Kebijakan ekonomi dalam banyak hal dapat lebih efektif dibandingkan dengan pemerintahan Gus Dur. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, koalisi politik yang dibentuk sebenarnya juga tidak efektif, tetapi karena presiden dipilih langsung dan Golkar sebagai partai dengan kursi terbanyak di DPR sepenuhnya mendukung pemerintah, sekalipun awalnya bukan merupakan bagian koalisi politik yang mengusung Yudhoyono, beberapa kebijakan ekonomi dapat efektif. Namun, dukungan koalisi sangatlah lemah, terutama pada saat kebijakan kontroversial, seperti kenaikan harga BBM, dilakukan.

Sistem politik campuran

Dari pengalaman tersebut jelaslah bahwa dukungan politik yang kuat dari DPR terhadap kebijakan pemerintah sangatlah diperlukan. Dukungan politik ini juga memberikan pesan kuat kepada birokrasi bahwa pemerintah secara politik harus kuat sehingga birokrasi dapat lebih digerakkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Begitu pula pesan kuat ini akan terasa di tingkat daerah dan masyarakat luas yang penting dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah.

Tentu saja mendapatkan dukungan politik yang kuat dari DPR sangatlah sulit dalam masa demokrasi terbuka ini. Membentuk koalisi juga tidaklah mudah. Namun, pesannya jelas semakin kuat dukungan politik baik itu didapatkan dari mayoritas suara di DPR maupun koalisi politik sangatlah penting bagi efektivitas kebijakan ekonomi. Sebagaimana juga di tingkat mikro perusahaan, kejelasan kekuatan pemegang saham mayoritas lebih baik bagi kinerja perusahaan dibandingkan dengan kepemilikan saham yang tersebar yang membuat manajemen tidak mempunyai kendali dan arahan yang jelas.

Apakah koalisi Golkar dan PDI-P mungkin terjadi? Mungkin saja, apalagi jika ditambah dengan partai Islam untuk menghindarkan dikotomi antara partai nasionalis dan Islam. Begitu pula bentuk koalisi ”permanen” lainnya. Penentuan calon presiden dari koalisi ini dapat dilakukan secara akal sehat atau yang umum dilakukan, yaitu partai pemenanglah yang berhak mendapatkan jatah capres.

Permasalahannya adalah sistem politik Indonesia adalah campuran antara parlementer dan presidensial sehingga koalisi partai sekalipun mayoritas dalam jumlah kursi di DPR belum tentu capres yang diajukan akan dipilih dalam pemilihan langsung. Namun, ini menjadi pembelajaran penting karena pemilih juga akan semakin terdidik akan pentingnya dukungan politik yang kuat bagi pembangunan ekonomi.

Jika pemilih memilih presiden tanpa dukungan kuat politik di DPR sekalipun dipilih langsung, akan sulit menjalankan kebijakan yang efektif. Demikian pula pesan kuat juga diberikan pemilih kepada parpol dan koalisi yang dibentuknya, jika pemilih tidak memilih presiden yang diajukannya kemungkinan adalah bukan saja capres itu tidak populer, tetapi juga koalisi tersebut tidak efektif atau tidak dihargai tinggi oleh pemilih.

Singkatnya, pembentukan koalisi politik akan lebih banyak memberikan manfaat bagi perkembangan demokrasi dan bagi dukungan terhadap efektivitas kebijakan ekonomi. Substansi politik adalah sarana bagi pencapaian tujuan bersama, yang berarti semakin kita dapat mengagregasikan dukungan, antara lain dalam bentuk koalisi ”permanen” yang tidak oportunistis akan semakin besar kemungkinan untuk mencapai tujuan bersama itu, khususnya dalam memajukan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Umar Juoro Ketua Center for Information and Development Studies (Cides); Senior Fellow the Habibie Center

[ Kembali ]

Dibantah, Dana Asing untuk TNI

Gugatan ke ExxonMobil Dikabulkan
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Jakarta, Kompas - Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menjelaskan, berdasarkan aturan yang dibuat pemerintah sejak 1999-2000, tidak ada lagi dana perusahaan asing yang masuk dalam kategori obyek vital di Indonesia yang diberikan langsung kepada aparat keamanan, baik Tentara Nasional Indonesia maupun Kepolisian Negara RI.

”Semua dana pengamanan diberikan melalui badan sipil mitra kerja perusahaan. Tidak boleh diberikan langsung kepada satuan operasional, baik TNI maupun Polri. Mitra kerja itu dalam hal ini BP (Badan Pelaksana Kegiatan Hulu) Migas,” ujar Juwono di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (28/8).

Pernyataan Juwono disampaikan untuk menanggapi dikabulkannya tuntutan warga Aceh kepada ExxonMobil di pengadilan Amerika Serikat. Seperti diberitakan AFP, pihak penggugat yang terdiri dari 11 warga Aceh, didampingi International Labor Rights Fund, mendaftarkan gugatan praperadilan itu pada Juni 2001 ke Pengadilan Distrik Columbia.

Gugatan itu dikabulkan hakim federal AS, Louis Oberdorfer, untuk diteruskan dalam proses pengadilan. Pihak ExxonMobil diberitakan telah meminta kepada pengadilan agar gugatan itu diabaikan, tetapi ditolak.

”Kita tunggu dulu apa reaksi ExxonMobil dan bagaimana tanggapannya, apakah naik banding atau tidak,” kata Juwono.

Penegasan soal tidak adanya dana dari ExxonMobil ke TNI juga disampaikan Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso. ”Selama saya menjadi Panglima TNI, tidak pernah TNI menerima dana dari ExxonMobil. Untuk masa-masa sebelumnya, saya yakin itu tidak pernah ada,” ujarnya.

Jangan terburu-buru

Pemerintah, dalam hal ini Markas Besar TNI, diminta tidak terburu-buru membantah pernah menerima aliran dana ExxonMobil terkait pengamanan eksplorasi perusahaan itu di Proyek Arun Aceh.

Menurut peneliti senior Institute of Defense and Security Studies, Andi Widjojanto, hal seperti itu memang tidak akan pernah tercatat resmi, melainkan langsung ”mengalir” ke unit-unit pasukan TNI. ”Pembuktiannya bisa dilihat dari laporan keuangan ExxonMobil, yang pastinya lebih tertib mencatat setiap pengeluaran mereka, termasuk dana untuk pengamanan tadi. Biasanya walaupun mengalokasikan dana seperti itu, mereka kan tidak tahu uangnya dipakai untuk kegiatan apa oleh TNI,” ujar Andi.

Dalam siaran persnya, Koordinator Human Rights Working Groups Rafendi Djamin mendesak Pemerintah RI kooperatif terhadap proses peradilan, yang akan digelar dalam waktu dekat di AS. (INU/DWA)

[ Kembali ]

Antara Keamanan dan Perdamaian Aceh

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008

Oleh Teuku Kemal Fasya

Tanggal 15 Agustus selalu diingat sebagai hari perdamaian Aceh. Nota Kesepahaman Helsinki yang menandai perdamaian itu telah menjadi sejarah baru.

Tiga tahun lalu, 15 Agustus 2005, di sebuah vila megah di Vantaa, Helsinki, Finlandia, Hamid Awaluddin mewakili Pemerintah Indonesia berjabat erat dengan Malik Mahmud, perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mengakhiri mesiu permusuhan yang cukup lama berakar dalam tubuh bangsa.

Beragam intervensi

Perdamaian kali ini menjadi lestari karena perangkat keras perdamaian, yaitu keamanan, mampu digaransi oleh kedua belah pihak. Letusan senjata dan kriminalitas mampu ditekan hingga titik minimal. Tanpa membesar-besarkan beberapa kasus kekerasan, penculikan, pe- rampokan, dan penembakan dari sebaran senjata ilegal yang masih beredar, tingkat kriminalitas nyatanya turun dengan cepat di tengah masyarakat.

Faktor keamanan di Aceh pun tumbuh karena intervensi ekonomi. Jika dibaca secara komprehensif, skenario perdamaian di Aceh berkait-kelindan dengan proyek rekonstruksi tsunami dan investasi pembangunan. Beberapa lembaga yang menangani korban konflik dan mantan kombatan, seperti Badan Reintegrasi/Damai Aceh (BRDA) dan Inter Peace Indonesia (IPI) yang dimotori oleh ”jaringan Makassar” (JK connection) berlomba memperbesar volume anggaran perdamaian.

Faktor terakhir yang memperkuat proses perdamaian di Aceh adalah kesadaran komponen konflik melakukan transformasi politik, dari instrumen militerisme dan clandestein menuju gerakan politik terbuka-konstitusional. GAM telah berubah menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA) dan membentuk Partai Aceh (PA) sebagai media agregasi kepemiluan. SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh), organisasi yang dulu dikenal sebagai sayap intelektual GAM, telah membentuk secara mandiri Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA). Ada empat partai politik lokal lainnya yang ikut mewarnai proses politik dan demokrasi Aceh.

Kesimpulan ini menunjukkan bahwa demokratisasi Aceh tidak hanya terkanalisasi oleh satu kelompok saja (GAM/KPA), tetapi telah menyebar menjadi kekuatan-kekuatan politik baru yang sangat mungkin menolak agenda-agenda krisis dan kerawanan keamanan tumbuh pada masa depan. Mekarnya kekuatan sipil (akademisi, wartawan, dan LSM) dalam mengisi ruang publik dengan rencana-rencana peradaban dan pertumbuhan akan menutup jalan terjal menuju medan pertempuran.

Beberapa tantangan

Berkaca pada proses penyelesaian konflik Aceh melalui skenario M>small 2small 0

Proses ini memang ditunjukkan dengan terbentuknya beragam regulasi dan struktur-struktur politik yang mencacah residu konflik dan kekerasan sekaligus masuknya industri investasi. Namun, proses ini belum menjadi keyakinan dan keampuhan bagi seluruh masyarakat. Pilkada dan transformasi politik GAM telah berlangsung, tetapi kesejahteraan dan kenyamanan masih jauh dari pandangan (masyarakat kecil).

Satu hal yang masih problematis adalah belum redupnya isu pemekaran provinsi Aceh Leuseur Antara (ALA) dari wilayah publik. Meskipun Gubernur Irwandi berhasil membonsai jaringan dan tokoh-tokoh politik yang propemekaran, isu ini kembali hangat. Bila tidak dikelola ”mainan politik” ini akan berubah serius. Peredaan wacana pemekaran akan efektif jika pemerintahan Aceh mampu memberi janji dengan bukti serta membebaskan isolasi masyarakat pedalaman dengan pembangunan dan partisipasi. Selain juga memberi kesempatan kekuasaan dan pendidikan bagi putra-putra terbaik Gayo, Alas, Tamiang, Singkil, Aneuk Jamee, dan Simeulue sebagai suku minoritas di Aceh.

Keran keamanan pasti bocor jika setiap individu tidak dipercaya mempertahankan perdamaian. Tanggung jawab perdamaian Aceh tidak hanya di tangan elite, tetapi seluruh aktor yang peduli. Manisnya buah perdamaian bukan hanya bernutrisi bagi masyarakat Aceh, tetapi juga Indonesia yang makin berjaya.

Teuku Kemal Fasya Ketua Komunitas Peradaban Aceh

[ Kembali ]