Jumat, 20 Maret 2009

INDONESIA Konstelasi yang Samar

PETA POLITIK
Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 19 Maret 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/03/19/04035222/indonesia

Oleh BAMBANG SETIAWAN

Hampir di setiap pemilihan umum demokratis di Indonesia memunculkan kejutan dan perubahan dalam peta politik kewilayahan. Apakah kejutan yang sama akan terjadi dalam Pemilu 2009?

Pada pemilu pertama di tahun 1955, banyak perkiraan yang dilakukan oleh pelaku dan pengamat politik ternyata keliru. Herbert Feith (Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, 1957) mengungkapkan, tokoh-tokoh dari berbagai aliran politik sama-sama dikejutkan oleh hasil pemilihan umum itu. Kejutan terbesar adalah sukses Nahdlatul Ulama (NU) menaikkan jumlah wakilnya di parlemen dari delapan menjadi 45 dan perolehan Masyumi yang tidak disangka begitu kecil di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebaliknya, kekuatan PNI dan PKI di kedua wilayah itu juga menimbulkan hal yang tidak diduga. Terutama PNI karena dengan memenangkan kedua wilayah itu partai nasionalis ini bisa duduk di peringkat pertama dan mengungguli perolehan suara Masyumi yang dominan dalam penguasaan wilayah.

Dalam Pemilu 1955, Masyumi menjadi partai Islam terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI, dan di Jawa Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi secara nasional tak terjadi.

Empat puluh empat tahun kemudian, ketika pemilu demokratis kembali digelar, banyak yang memperkirakan Golkar akan tamat seiring dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Ternyata pendapat ini keliru. Golkar, bahkan masih dapat menduduki posisi kedua dalam perolehan suara nasional. Wilayah yang dimenangkannya pun masih cukup signifikan untuk kembali membangun kepercayaan. Dari 313 wilayah kabupaten/kota dalam Pemilu 1999, Golkar masih menguasai 114 daerah (36,4 persen).

Sebaliknya, partai-partai baru yang tumbuh seiring dengan gerakan reformasi ternyata tidak dominan, baik dalam perolehan suara maupun wilayah yang dimenangkannya. Di antara 45 partai baru dari total 48 partai, hanya tiga partai yang mampu meraih kemenangan berdasarkan basis wilayah, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Dalam pemilu ini pula, kemunculan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menjadi fenomenal karena mampu melampaui perolehan suara dengan selisih cukup jauh dengan pesaing terdekatnya (Partai Golkar) dan tiga kali lipat dari perolehan suara partai terbesar ketiga. Wilayah yang dikuasainya pun dominan, 53 persen atau 166 kabupaten/kota.

Akan tetapi, determinasi kewilayahan PDI-P ternyata tidak bertahan lebih dari lima tahun karenanya Pemilu 2004 menimbulkan kejutan berikutnya. Suara untuk partai yang lekat dengan sosok putri mendiang mantan Presiden Soekarno tersebut turun drastis, tinggal separuhnya (18,5 persen). Wilayah yang didominasinya pun menyusut, tinggal 20,2 persen dari 440 kabupaten/kota.

Sebaliknya, keterpurukan Golkar mampu dipulihkan dengan cepat. Meskipun secara nasional perolehan suara Golkar justru turun dari 22,4 persen pada tahun 1999 menjadi 21,6 persen pada tahun 2004, menduduki peringkat satu dan sebaran wilayah yang mampu dimenangkannya pun makin banyak. Dalam pemilu terakhir, partai berlambang beringin itu mampu menaikkan penguasaan wilayahnya menjadi 61,6 persen atau 271 kabupaten/kota.

Penguasaan wilayah oleh Partai Golkar pada Pemilu 2004 banyak terjadi di wilayah-wilayah hasil pemekaran. Dari 143 daerah yang dimekarkan antara tahun 1999-2004, 72 persen atau 103 wilayah pemekaran dimenangkan oleh Partai Golkar pada Pemilu 2004. PDI-P hanya memenangkan 12,6 persen wilayah pemekaran, sisanya diperebutkan oleh partai-partai lain.

Pemilu 2004 juga ditandai dengan fenomena munculnya dua kekuatan partai baru, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat, yang mampu mengungguli raihan suara PAN. Kehadiran dua partai yang tumbuh secara cepat ini menandai jejak baru dalam peta politik nasional.

Jejak ideologis

Bagaimanapun, timbul-tenggelamnya kekuatan partai membekaskan jejak pada wilayah yang pernah dikuasainya. Di Jawa, perubahan komposisi nasionalis-agama cenderung dinamis. Sementara di luar Jawa, penetrasi kekuatan Orde Baru mengubah peta politik menjadi lebih permanen. Warna politik nasionalis masih tetap kental di luar Jawa walaupun kekuasaan Orde Baru tumbang.

Kebanyakan dari wilayah-wilayah di Pulau Sumatera, seperti Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Utara, telah berubah warna. Wilayah ini cenderung menjadi basis partai nasionalis. Di hampir semua wilayah Kalimantan juga telah berubah menjadi basis massa partai nasionalis. Kekuatan nasionalis pun merambah ke wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB). Wilayah ”hijau” yang 67 persen suaranya dikuasai oleh partai-partai Islam pada Pemilu 1955 ini menjadi relatif permanen dengan warna ”kuning” Golkar sejak Pemilu 1971-2004. Di Sulawesi Selatan, wilayah yang 69 persen dikuasai oleh partai ”hijau” pada tahun 1955 telah berubah 180 derajat menjadi sangat nasionalis.

Meski demikian, tetap ada kantong-kantong wilayah (enclave) yang memiliki karakter kuat. Sebagian wilayah yang ditinggalkan oleh Masyumi, misalnya, tetap memiliki ciri sebagai basis massa Islam ketika pemilu kembali dilaksanakan secara bebas. Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat, Riau, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Kalimantan Selatan cenderung memiliki keseimbangan politik aliran-nasionalis yang lebih stabil.

Sejak tahun 1999, pergeseran paling dominan dalam penguasaan wilayah hanya terjadi di antara dua partai besar saja, Partai Golkar dan PDI-P. Meskipun beberapa partai baru, seperti PKS, mampu merebut beberapa wilayah, dan PKB menjadi kekuatan di Jawa Timur, penguasaannya masih berkecakupan sempit.

Pergeseran dalam cakupan wilayah yang luas antara PDI-P dan Partai Golkar mencerminkan tarikan kekuatan yang, sejauh ini, paling besar pengaruhnya. Di wilayah perkotaan, misalnya, pada Pemilu 1999 PDI-P berhasil meraih kemenangan di 50 dari 69 kota di Indonesia, tetapi kemudian direbut kembali oleh Partai Golkar pada Pemilu 2004. Dalam pemilu terakhir tersebut, Partai Golkar meraih 50 dari 99 kota dan PDI-P hanya 18 kota.

Perubahan tampaknya memang lebih identik dengan wilayah perkotaan daripada pedesaan. Terutama di Jawa, selain tarikan politik antarsesama partai nasionalis besar (Partai Golkar dan PDI-P) terjadi di wilayah perkotaan, kota juga menjadi ajang penaklukan partai-partai baru. Kemenangan PKS di Jawa yang semuanya berada di wilayah perkotaan mengindikasikan bahwa perkotaan menjadi wilayah terbuka untuk meraih simpati.

Pemilu 2009

Apakah Pemilu 2009 akan memunculkan kejutan baru, baik perubahan komposisi perolehan partai ataupun penguasaan wilayah? Tampaknya, akan terdapat banyak perubahan yang disebabkan naiknya pamor beberapa partai dan penguasaan partai dalam pilkada.

Prediksi bahwa Partai Demokrat akan memenangkan pemilu sudah santer dilemparkan sejumlah lembaga survei, seperti Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan gabungan lembaga penelitian CSIS, LIPI, LP3ES, dan Puskapol UI. Diperkirakan, suara partai yang lekat dengan figur Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini akan mengungguli perolehan suara Partai Golkar dan PDI-P. Selain itu, partai baru Gerindra juga diperkirakan akan mengubah konstelasi di jajaran partai kelas menengah. Dengan begitu, paling tidak, dua partai ini akan menjadi penentu komposisi kekuatan baru.

Di samping itu, pola penguasaan wilayah diperkirakan akan mengalami perubahan besar karena kontestasi partai dalam pilkada, yang membuat sebagian partai menguat pengaruhnya dan sebagian yang lain melemah di basis massanya. Partai Golkar yang dalam Pemilu 2004 menang di 27 provinsi, kehilangan 20 provinsi dalam ajang pilkada. Partai ini tampak solid dengan meraih kemenangan tanpa koalisi hanya di dua provinsi, yang semuanya di Sulawesi. Sebaliknya, PDI-P yang dalam pemilu sebelumnya hanya menang di dua provinsi mampu menguasai tujuh provinsi dalam pilkada. Demikian juga koalisi yang dibangun PKS, meskipun kalah di satu-satunya basis massa tingkat provinsi (DKI Jakarta), pengaruhnya di tujuh provinsi lain tetap tertancap.

Apakah prediksi perolehan suara dan penguasaan partai atas dasar pilkada akan terbukti, tidak bisa dijamin. Belajar dari sejarah, pemilu kerap penuh kejutan dan konstelasi di tingkat nasional memang selalu samar.

(BAMBANG SETIAWAN/ Litbang Kompas)

[ Kembali ]


Kamis, 09 Oktober 2008

Konstitusionalisme Vs Fundamentalisme

Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 9 Oktober 2008

Oleh Adnan Buyung Nasution

Belakangan ini timbul berbagai ancaman terkait fundamentalisme agama.

Pertama, kemunculan berbagai peraturan daerah syariat yang diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia. Kedua, desakan untuk mengegolkan RUU tentang Pornografi yang amat antiperempuan (misogynist) dan tidak mampu melindungi anak. Ketiga, tindak kekerasan yang dilakukan kelompok fundamental terhadap pemeluk agama dan kepercayaan minoritas, rakyat kecil marjinal, juga aktivis pejuang kebebasan beragama.

Ancaman itu menjadi kian serius saat berbagai kelompok fundamental mulai mengembuskan isu mayoritas vis a vis minoritas ke ruang publik. Simak tuntutan pembubaran Ahmadiyah yang selalu dikaitkan pandangan mainstream kelompok Islam.

Demikian pula dengan rencana pengesahan RUU Pornografi yang kabarnya sebagai hadiah Ramadhan bagi mayoritas. Celakanya, aspirasi fundamentalistik yang dikesankan mendapat dukungan mayoritas itu membuat cabang-cabang kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) seolah kehilangan pegangan dan tidak berdaya.

Pertanyaannya, jika benar ada dukungan mayoritas terhadap berbagai aspirasi fundamentalistik, apakah hal itu dapat dijadikan argumentasi yang sahih sebagai pembenaran segala tindakan penyelenggara negara? Pertanyaan itu kerap dijawab serampangan atau disederhanakan melalui ungkapan semacam vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan). Jika mayoritas berkehendak, maka jadilah.

Pemahaman demikian tentu mengandung kerancuan karena majority rule hanyalah salah satu aturan main dalam demokrasi dan bukan fondasi dari demokrasi itu sendiri. Mekanisme kehendak mayoritas hingga kini dan mungkin sampai kapan pun merupakan prosedur yang jauh lebih baik dibanding sistem monarki atau kekhalifahan yang mengandaikan adanya pribadi pemimpin arif bijaksana yang diangkat secara turun-temurun atau lewat penunjukan segelintir orang.

Meskipun demikian, demokrasi tidak melulu terkait prosedur. Demokrasi harus memiliki substansi, yaitu prinsip-prinsip pokok yang harus ditegakkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, demokrasi harus berdasarkan prinsip konstitusionalisme yang bertujuan membatasi kesewenang-wenangan kekuasaan, termasuk mencegah adanya tirani dari kelompok mayoritas (tyranny of the majority).

Konstitusionalisme

Sejak pendirian Republik, Hatta mengupayakan adanya jaminan bagi perlindungan kebebasan individu sekaligus meletakkan fondasi konstitusionalisme di Indonesia. Ia mewakili pendukung prinsip demokratis yang mengajukan penolakan terhadap faham integralistik Soepomo yang mengabaikan hak-hak minoritas dan mengandung ide-ide penyeragaman yang amat berbahaya. Hatta menginginkan adanya suatu negara pengurus yang tidak kebablasan menjadi negara kekuasaan, negara penindas (Risalah Sidang BPUPKI/PPKI).

Upaya mewujudkan konstitusionalisme di Indonesia lalu dilanjutkan dan sempat mendapatkan momentumnya saat Konstituante berhasil dibentuk lewat Pemilu 1955 yang amat demokratis. Anggota konstituante yang berjumlah 544 orang itu telah bersidang selama sekitar 3,5 tahun. Mereka bahkan telah berhasil merumuskan 24 pokok HAM. Namun, sebagaimana kita ketahui, pencapaian itu dimentahkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945.

Pada masa Orde Baru, pekerjaan besar bangsa ini untuk mewujudkan konstitusionalisme terhambat. Rezim otoriter menutup segala saluran dan menggunakan aparatusnya untuk menyelusup dalam rongga-rongga terdalam kehidupan masyarakat bahkan secara aktif memantau kehidupan orang perseorangan. Pada masa itu kebebasan menjadi kosakata yang telah kehilangan makna.

Pers dan media layaknya koor yang senada dalam menyuarakan kebijakan pemerintah. Suara sumbang dibungkam lewat mekanisme sensor yang berujung pada pembreidelan. Kehidupan kepolitikan dimandulkan dan sebagai gantinya dihadirkan demokrasi seolah-olah. Lawan-lawan politik dan ideologis penguasa diberi stigma sebagai musuh negara dan diperlakukan layaknya warga negara kelas dua. Batas-batas ditentukan dengan ketat dan upaya untuk melampauinya akan digolongkan sebagai tindakan subversif. Pendeknya, Orde Baru telah melucuti hak-hak individu warga negara.

Memasuki era Reformasi terjadi perkembangan yang cukup baik, terutama setelah amandemen UUD 1945. Kekuasaan negara yang sewenang-wenang dan sentralistik telah dilucuti. Kebebasan warga negara dan otonomi daerah telah mendapatkan jaminan di dalam konstitusi.

Persoalan timbul belakangan saat kebebasan dikotori oleh ekstremisme dalam berekspresi. Otonomi daerah pun ditunggangi aneka kepentingan sektarian untuk mengegolkan berbagai perda diskriminatif dan melanggar HAM.

Ancaman demokrasi kita

Insiden Monas 1 Juni 2008 seharusnya dapat menyadarkan banyak kalangan tentang kondisi demokrasi kita yang masih mengidap penyakit kronis. Virus perusak demokrasi itu dibawa oleh berbagai kelompok fundamental yang mengotori keadaban publik dengan menggunakan cara-cara kekerasan pada sesama warga.

Tindakan premanisme seharusnya dapat diatasi sebelumnya jika saja negara tidak ragu-ragu dalam menegakkan hukum dan konstitusi, terutama untuk menindak pelaku dan melindungi kelompok-kelompok minoritas, yang marjinal, lemah, dan terancam. Meski pada akhirnya aparat bertindak dan hingga kini upaya hukum telah berjalan, terjadinya insiden itu harus dipahami sebagai ekses dari lambatnya respons negara.

Dengan pemahaman demikian, seharusnya saat ini aparat hukum lebih sigap, apalagi dengan menyimak perkembangan serius yang terjadi belakangan dalam proses persidangan.

Berbagai kelompok telah melangkah lebih jauh dengan melecehkan wibawa hukum. Mereka tidak segan-segan melakukan intimidasi, ancaman, bahkan kekerasan di ruang sidang pengadilan. Di titik kritis ini, tidak ada pilihan lain, penegakan hukum harus mampu menjadi ultimum remedium guna mencegah agar tidak terjadi kondisi ketiadaan norma (normless) dan memastikan tercapainya summum bonum (greatest good).

Akhirnya, saya ingin sungguh-sungguh meyakinkan segenap bangsa ini, ancaman fundamentalisme agama itu nyata dan berbahaya karena bertujuan menciptakan negara berdasarkan agama. Sejauh ini berbagai kelompok fundamental itu telah menyorong penyelenggara negara hingga tersudut di tepian jurang inkonstitusionalitas.

Karena itu, kita semua harus senantiasa berpegang teguh pada faham konstitusionalisme agar tidak salah langkah dan mampu menjaga bangsa ini tidak terempas dan pecah berkeping-keping.

Adnan Buyung Nasution Pengacara Senior

[ Kembali ]

Minggu, 21 September 2008

Syariat Substantif dalam Konstitusi

Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 22 September 2008
Oleh ZUHAERI MISRAWI

Sejak prakemerdekaan hingga era reformasi, tarikan dari sebagian kelompok yang menghendaki penggantian ideologi negara tidak pernah sepi. Justru dalam beberapa tahun terakhir, mereka yang menyuarakan hal tersebut makin terdengar dari pusat hingga daerah.

Meskipun demikian, dapat dipastikan bahwa mayoritas Muslim di Tanah Air adalah kalangan moderat, yang ekspresi keberagamaannya dapat ditemukan dalam Pancasila dan UUD 1945. Ideologisasi Islam di dalam negara mengacu pada substansinya, bukan pada doktrin formalnya yang kerap kaku, rigid, dan bertentangan dengan demokrasi dan hak asasi manusia.

Pandangan tersebut dapat ditemukan dalam buku Shari’a and Constitutional Reform in Indonesia karya Dr Nadirsyah Hosen, pakar hukum Islam yang kini mengajar di Universitas Wollongong, Australia.

Indonesia paling moderat

Buku ini merupakan kajian yang paling mendalam dan fokus tentang relasi antara syariat dan konstitusi. Salah satu kesimpulan yang bisa diambil dari buku ini adalah keluar dari perdebatan apologetik menuju kajian akademis yang diharapkan dapat memperkokoh keyakinan kita tentang diskursus terbaik dalam relasi syariat dan konstitusi, antara agama dan negara.

Sejauh ini ada tiga pandangan yang mengemuka perihal relasi antara syariat dan konstitusi. Pertama, paradigma fundamentalistik. Mereka yang menganut paradigma ini berpandangan, konstitusi harus berdasarkan Islam, sebagaimana diterapkan oleh Nabi dan para sahabatnya di Madinah, 15 abad yang lalu. Mereka juga memahami tidak ada pemisahan antara agama dan negara, sebagai Islam adalah agama dan negara (din wa dawlah).

Pandangan ini pada hakikatnya merupakan resistensi dan antitesis terhadap pandangan sekuler. Sebab, pandangan tersebut lahir dari rahim konspirasi Barat dan kolonialisme yang sengaja disebarkan untuk melawan Islam.

Negara yang secara konsisten menerapkan model ini adalah Arab Saudi. Di dalam konstitusi mereka disebutkan, Al Quran dan Sunah merupakan konstitusinya. Di dalam pasal lain disebutkan bahwa pemerintahan dalam Kerajaan Arab Saudi dibangun di atas premis keadilan, konsultasi, dan persamaan, sesuai dengan syariat Islam. Adapun Raja merupakan referensi utama bagi lembaga-lembaga politik, baik lembaga yudikatif, eksekutif, maupun regulatif.

Kedua, paradigma sekularistik. Mereka yang menganut paradigma ini menganggap Islam sebagai ajaran yang diterapkan dalam ranah privat dan individual. Tidak ada perintah yang bersifat eksplisit dan mengikat, baik dari Al Quran maupun Hadis, yang memerintahkan kita untuk menegakkan negara Islam. Hukum Islam hanya dapat diterapkan berdasarkan karisma seorang pemimpin, dan bukan melalui sistem konstitusional yang demokratis.

Negara yang memedomani paradigma ini adalah Turki. Meskipun mayoritas penduduknya adalah Muslim, dan partai terbesar adalah partai yang berbasis kalangan Muslim, yaitu Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), negara ini mempunyai komitmen yang kuat untuk menjadikan sekularisme sebagai pijakan utama dalam konstitusi mereka. Menggoyang dan menggantikan sekularisme sama halnya dengan menafikan eksistensi negara. Tokoh yang merupakan inspirasi mereka adalah Musthafa Kemal Ataturk.

Undang-undang di Turki dikodifikasi dengan berbagai konvergensi dari sistem sekuler dari berbagai negara. Undang-undang tentang sipil dan komersial diadopsi dari Swiss, undang-undang tentang administrasi dari Perancis, sedangkan undang-undang tentang pidana dari Italia. Di dalam konstitusi mereka disebutkan bahwa Turki adalah negara demokratis, sekuler, dan sosialis, yang diatur oleh hukum dengan mengutamakan konsep perdamaian, solidaritas nasional, hak asasi manusia dan loyal pada nasionalisme Ataturk. Maka, jika Arab Saudi merupakan wajah dari negara fundamentalis syariat, Turki dapat dikatakan sebagai fundamentalis sekuler.

Ketiga, paradigma moderat, atau biasa dikenal dengan paradigma jalan ketiga. Mereka berpandangan bahwa Islam harus dipahami sebagai nilai, kebajikan, kemaslahatan bersama (common good) dan tatanan moral. Sistem Islam dalam ruang publik, intinya adalah bertujuan untuk menegakkan kesetaraan di antara warga negara. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan tata negara diatur melalui syura (konsultasi yang bersifat demokratis).

Secara umum, paradigma ini merupakan wajah dari mayoritas negara-negara Islam. Setidaknya, menurut Nadir, ada empat negara yang mengadopsi pandangan moderat, yaitu Mesir, Afganistan, Irak, dan Indonesia.

Meskipun demikian, moderatisme yang dianut dalam konstitusi mereka juga terbelah dalam dua model, yaitu formalistik dan substansialistik. Kelompok formalistik adalah mereka yang menjadikan syariat sebagai sumber utama dalam konstitusi mereka, seperti Mesir, Afganistan, dan Irak. Meskipun ekspresi keberagamaan ketiga negara tersebut relatif moderat, yang paling kentara dalam konstitusi mereka adalah penetapan Islam sebagai dasar negara. Di satu sisi, mereka menjadikan syariat sebagai dasar negara, tetapi di sisi lain mereka menerima hak asasi manusia.

Yang paling spektakuler dari model moderat di atas adalah Indonesia. Sebab, meskipun negara ini merupakan salah satu negara yang paling besar penduduk Muslimnya, hal itu tidak menjadikan Islam atau syariat sebagai dasar negara, sebagaimana model syariat formalistik. Model yang digunakan dalam konstitusi adalah model substansialistik, yaitu menjadikan nilai-nilai Islam yang universal sebagai common ground atau common platform dengan agama-agama lainnya. Istilah yang dipilih adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Komitmen syariat substansialistik

Jika mengacu pada pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, yang dimaksud dengan sila tersebut adalah ketuhanan yang berkeadaban, yaitu ketuhanan yang dapat menghormati agama lain. Jadi, keislaman dimaknai sebagai elan vital untuk membangun spirit dialog dan kebersamaan. Apalagi dalam sebuah negara yang dikenal dengan kebhinnekaannya, baik dari segi agama, suku, maupun bahasa.

Sila pertama tersebut diperkuat dengan spirit kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan. Intinya, semua agama harus mampu membangun titik temu untuk tujuan bangsa yang lebih lintas agama, suku, dan bahasa. Di sini, konstitusi memberikan garansi kebebasan kepada setiap pemeluk agama untuk melakukan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya, sebagaimana tertera dalam Pasal 29 UUD 1945.

Dalam pasal tersebut ada dua hal yang ingin disampaikan, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara dan jaminan kemerdekaan kepada setiap warga negara untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya.

Model konstitusi yang seperti ini dapat berjalan dengan langgeng, dan didukung sepenuhnya oleh sebagian besar kalangan Muslim di Tanah Air. Meskipun sudah beberapa kali dilakukan amandemen, konstitusi tidak mengalami perubahan yang mengarah pada formalisasi syariat. Nuansa substansialistik merupakan paradigma yang mengemuka.

Menurut Nadirsyah, meskipun negara-negara Muslim lainnya menerapkan deklarasi Islam Universal tentang Hak Asasi Manusia di Cairo, yang mengadopsi model syariat formalistik, hal tersebut tidak bisa eksis dan tidak diakomodasi dalam amandemen kedua UUD 1945. Artinya, yang menjadi acuan utama adalah deklarasi hak asasi manusia, sebagaimana tertuang dalam pasal 28, yang menekankan dimensi nilai-nilai substansial agama, bukan ajaran formalnya. Bahkan, menurut Nadirsyah, yang dimaksud dengan nilai-nilai substansial agama tidak hanya mengacu pada Islam, tetapi juga mengacu pada agama-agama lainnya.

Meskipun demikian, upaya untuk mencantumkan kembali tujuh kata dalam Piagam Jakarta masih terus mengemuka, yang disponsori oleh partai-partai yang berasas Islam, seperti Partai Bulan Bintang dan Partai Persatuan Pembangun. Akan tetapi, upaya tersebut kandas karena ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat dan dua ormas Islam terbesar, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Pilihan terhadap Pancasila dan UUD 1945, menurut Nadirsyah, merupakan komitmen dari seluruh rakyat perihal paradigma moderat yang memahami syariat secara substansialistik. Sebagai pilihan moderat, Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara Islam. Pilihan tersebut pada hakikatnya sesuai dengan substansi syariat. Bagi kalangan Muslim, Pancasila sejalan dengan tujuan-tujuan utama syariat, yang dikenal dengan maqashid al-syariah.

Fakta konstitusional seperti itu membuktikan bahwa Islam pada hakikatnya tidak bertentangan dengan demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme. Islam secara substansial justru dapat memperkuat demokrasi, dan sebaliknya demokrasi dapat melindungi hak dasar dan hak hidup semua kelompok, dan yang tidak kalah pentingnya menjadi sumber inspirasi keadilan dan kesejahteraan sosial.

Buku ini secara fantastis telah memberikan harapan, bahwa konstitusi yang lahir dari Bung Karno dan para pendiri bangsa lainnya mampu melindungi kebhinnekaan, dan pada akhirnya menunjukkan bahwa Islam bukanlah lawan Barat dan demokrasi.

Ijtihad konstitusional ala Indonesia pada akhirnya harus menginspirasi dunia Islam, baik yang fundamentalistik maupun sekularistik, agar meletakkan Islam dalam bentuknya yang substansialistik, bukan yang bersifat formalistik.

Zuhairi Misrawi Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia

[ Kembali ]

Kamis, 04 September 2008

Pelajaran dari Pasal 76

Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 4 September 2008
Oleh Makmur Keliat

Empat tahun UU TNI telah dikeluarkan. Yang amat kontroversial adalah Pasal 76. Pasal 76 mewajibkan pemerintah mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola TNI baik langsung atau tak langsung.

Kontroversi atas pasal ini melahirkan beberapa hal. Pertama, tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan bisnis TNI. Penjelasan atas pasal ini hanya menyebutkan ”sudah jelas”. Kedua, meski UU TNI sudah berlaku selama empat tahun, pemerintah hingga kini belum bertindak nyata untuk mengambil alih.

Sejauh yang dapat dicermati, tanggapan pemerintah atas pasal ini adalah melalui pembentukan Tim Supervisi dan Transformasi Bisnis TNI (TSTB) dan pembentukan Tim Nasional (Timnas) Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI. TSTB dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Pertahanan tahun 2005 dan telah menyelesaikan tugas identifikasinya. Timnas dibentuk melalui Keppres tahun 2008. Namun, kedua tim ini belum diberi wewenang untuk mengeksekusi Pasal 76.

Bagaimana menjelaskan kontroversi ini? Mengapa pasal itu hingga kini belum dieksekusi? Tidak ada penjelasan tunggal untuk menjawab berbagai pertanyaan ini. Maka, yang muncul adalah penjelasan- penjelasan yang bersifat spekulatif.

Empat spekulasi

Spekulasi pertama lahir dari kualitas pembuatan legislasi itu sendiri. Tidak adanya penjelasan tentang pasal ini disebutkan sebagai simbol dari kualitas yang memprihatinkan dari para legislator kita dalam membuat undang-undang. Undang-undang menjadi tidak operasional dan menjadi ”bom waktu” yang menyulitkan pemerintah. Ketidakjelasan bunyi Pasal 76 menjadi sebab mengapa pemerintah (dalam hal ini presiden) tidak dapat segera mengoperasionalkannya.

Pemerintah harus lebih dulu merumuskan apa yang dimaksud dengan bisnis TNI, makna kepemilikan, pengelolaan secara langsung atau tidak langsung. Setelah pemaknaan ini jelas, baru dilakukan pengidentifikasian, jumlah unit bisnis yang memiliki keterkaitan dengan TNI. Pembentukan TSTB dan Timnas dimaksudkan untuk mengurai benang kusut yang ditinggalkan pasal itu. Kesimpulannya: lembaga legislatif harus ikut menanggung beban mengapa eksekusi pengambilalihan belum dilakukan hingga kini.

Spekulasi kedua berusaha menjelaskan dari motif ekonomi. Eksekusi belum dilakukan karena memberi waktu bagi semua kegiatan bisnis melakukan metamorfosis. Pasal 76 memberi rentang waktu amat panjang untuk eksekusi, yaitu hingga 16 Oktober 2009. Karena itu, secara hukum tidak ada keharusan bagi presiden untuk segera mengeksekusi. Rentang waktu panjang ini dapat digunakan untuk mengubah status dokumen hukum dari ”bisnis” yang terkait TNI.

Pilihan metamorfosis juga dianggap sebagai jalan tengah untuk meminimalkan beban keuangan negara. Jika eksekusi segera dilakukan empat tahun lalu, ada kecemasan bahwa seluruh unit yang diambil alih itu ternyata rugi, memiliki utang besar, dan mengakibatkan tekanan beban anggaran yang kian besar. Tindakan seperti itu akan mengulangi pengalaman masa krisis finansial saat pemerintah melakukan pengambilalihan terhadap bisnis perbankan. Konklusi akhir dari penjelasan seperti ini adalah bahwa jika nantinya eksekusi pengambilalihan dilakukan, jumlah unit dan kekayaan yang diambil alih tidak terlalu besar dan dilakukan hanya untuk memenuhi ketentuan hukum.

Spekulasi ketiga terkait kepentingan stabilitas institusional TNI sendiri. Penjelasan berawal dari banyaknya jumlah personel TNI, diperkirakan mencapai 30.000 orang. Tidaklah mudah mengalihkan jumlah besar personel untuk masuk ke institusi TNI. Pengalihan harus dilakukan dengan menyiapkan kerangka kelembagaan serta phasing out-nya. Jika ini tidak dapat dilakukan, akan mengakibatkan dinamika dan instabilitas institusional di TNI. Kesimpulan dari penjelasan ini adalah pengambilalihan harus dilakukan secara hati-hati, membutuhkan waktu, dan menghindarkan seminimum mungkin terjadinya instabilitas institusional di lingkungan TNI.

Spekulasi keempat terkait karakter kepemimpinan nasional sebagai safety player dalam kompetisi politik nasional. Berbeda penjelasan lain, tanggung jawab dari pelambatan pengambilalihan sepenuhnya ada di tangan presiden. Karakternya yang amat hati-hati dan cenderung untuk menyenangkan semua pihak telah mengakibatkan formulasi eksekusi pengambilalihan harus dibuat seideal mungkin. Keharusan seperti ini membutuhkan waktu untuk perumusan. Dari sisi ini, pembentukan TSTB dan Timnas yang tidak diberi wewenang untuk melakukan eksekusi adalah simbol dari karakter psikologis itu.

Penjelasan itu juga menyebutkan sebenarnya amat sederhana untuk mengeksekusi pengambilalihan jika presiden menjadi seorang yang mengambil risiko, yaitu dengan menggunakan otoritasnya sebagai Panglima Tertinggi TNI. Konklusi akhir dari penjelasan ini adalah ”bola” pengambilalihan bisnis TNI kini sepenuhnya di tangan presiden.

Tebang semuanya?

Kompetisi dari empat wacana inilah yang kini mewarnai diskusi tentang pengambilalihan bisnis TNI. Terlepas dari spekulasi mana yang paling reliable, pelajaran terpenting yang dapat dipetik adalah negeri ini masih jauh dari negara hukum. Saat suatu hukum hendak diimplementasikan, kita cenderung ”berwacana”, bukan segera melaksanakan ketentuan itu. Sebagai suatu makna, hukum pada dasarnya adalah melegalkan proses politik. Namun, ketika proses politik sudah selesai bekerja, yaitu saat sudah menjadi UU, hukumlah yang harus bekerja.

Kontroversi Pasal 76 juga merupakan simbol ketidakmampuan kita untuk menarik garis demarkasi semacam itu. Ketidakmampuan itu tampaknya tidak hanya tipikal pada pengaturan atas aktor keamanan, tetapi juga hampir mencakup pengaturan seluruh aktor dalam bidang kehidupan lain. Itu sebabnya, mungkin kalimat ”tebang semuanya” tidak pernah dilakukan karena dianggap menjadi yang melukai diri sendiri (self-defeating).

MAKMUR KELIAT Pengajar di FISIP Universitas Indonesia

[ Kembali ]

Hikmah

Kolom Jendela 234
Diunduh dari Harian Jurnal Nasional, Jakarta | Kamis, 04 Sep 2008
by : Ramadhan Pohan
KETIKA 10 tahun silam bangsa Indonesia memutuskan diri mengambil jalan reformasi, demokrasi, dan menanggalkan otoritarianisme, itu tindakan brilian. Tak sekadar historis. Demokrasi mencerdaskan dan membukakan pikiran bangsa untuk sebuah kehidupan yang lebih baik. Kita menolak kejumudan. Menampik doktrin buta. Sebaliknya, demokrasi memberikan ruang seluasnya bagi negeri ini mengolah diri, memperindah diri. Tujuan akhirnya pastilah kemakmuran dan kesejahteraan Indonesia.

Tapi, ketika kita masuki dan jalani era reformasi, nyaris semua elemen bangsa terlalu larut dalam kegembiraan, euphoria. Seolah-olah mengganti Soeharto sudah menjadi jaminan penyelesaian semua masalah. Terlalu yakin bahwa problem bangsa ini hanya tertumpu di sosok Soeharto belaka. Jadilah seluruh energi dan perhatian seantero Indonesia fokus pada Soeharto dan segala isu mengitarinya. Bangsa ini seakan lupa bahwa ada banyak persoalan lain yang harus cepat dan serius ditangani. Abai sedemikian banyak pe-er yang mestinya segera dibereskan supaya reformasi tidak salah jalan, stagnan dan salah kaprah. Contohnya sederhana saja. Hanya setahun setelah reformasi, politik Indonesia berubah total dan langsung disambut dengan Pemilu 1999. Benar-benar pesta rakyat. Pesta dalam pengertian yang paling harfiah. Diikuti banyak parpol. Melibatkan nyaris seluruh penduduk negeri, semua orang berpolitik. Berpesta.

Pemilu dilakukan tanpa kesiapan perangkat peraturan yang kokoh, solid, tegas agar tidak berbenturan satu sama lain. Pikiran semua orang terlalu didominasi politik sesaat. Kemaruk. Seolah segala kesumpekan, kebekuan dan belenggu masa lalu yang kini copot hendak dilampiaskan total dan habis-habisan. Mestinya ada rumusan bersama dari seluruh kekuatan, elemen bangsa merumuskan dulu apa saja yang harus disiapkan dan dilakukan supaya reformasi dan demokrasi kita terkonsep baik, solid dan permanen. Ini yang tidak terjadi.

Politik sesaat dan elementer yang justru dominan. Saat itu rekrutmen dan kaderisasi pun berlangsung dadakan dan banyak asal comot belaka. PDIP yang dipimpin Megawati Soekarnoputri mendadak top dan jadi tumpuan semua orang. Siapa saja, lebih-lebih mereka yang pengangguran, berlomba-lomba masuk parpol. Mereka melihatnya sebagai representasi anti-Soeharto, representasi kaum tertindas. Klaim itu tidak direkayasa, datang begitu saja. Namun, banyak pula yang bergabung karena memang tidak punya pekerjaan jelas. Sehingga, parpol tersebut bisa menjadi sandaran dan tumpuan hidup sekaligus.

Namun, saking terburu-burunya, gagap dan tanpa perhitungan kuat, parpol ini tidak selektif merekrut kader dan calon legislatifnya baik pusat hingga daerah. Begitu pula banyak parpol lainnya, condong asal-asalan merekrut kader dan fungsionarisnya. Parpol-parpol baru yang memiliki kader dan fungsionaris intelek malah jadi elitis, eksklusif dan mengawang-awang. Jauh dari harapan dan kehidupan ril masyarakat. Sehingga tak menarik minat banyak pemilih, karenanya tak punya perwakilan cukup di parlemen. Jadi, itulah masa di mana ada parpol popular yang perekrutannya amburadul dan kebanyakan parpol lainnya punya kader dan politisi bagus namun tidak populer di massa pemilih yang kebanyakan berpendidikan rendah dan belum berpikiran maju. Padahal, politik adalah riil, yaitu menang pemilu dan menempatkan sebanyak mungkin orangnya di parlemen.

Pada saat bersamaan, Golkar dan PPP saat itu dianggap partai tua, konservatif dan sisa politik jadul. Kedua parpol ini sudah mempunyai standar yang jelas dan sudah berpengalaman mengelola partai. Kelemahannya hanya satu, ia dianggap produk lama alias barang tua. Sehingga, tak menarik minat tinggi publik dan massa pemilih.

Apa yang terjadi? Di pusat dan daerah, parlemen diisi oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang cukup mumpuni. Banyak anggota Dewan yang hanya tamat SMP, SMA dan dari latar pekerjaan kasar, buruh, preman dan mereka yang sebelumnya tidak pernah terlibat dalam politik. Mendadak mereka diberi tugas luar biasa berat, bikin undang-undang! Peraturan dan hukum yang mengikat seluruh rakyat diamanahkan pada kalangan politisi dadakan yang sama sekali tidak berlatar dan bermodal pendidikan yang cukup.

Sepuluh tahun sudah berlalu. Banyak pengalaman dan pelajaran mestinya ditarik sebagai hikmah. Masih harus berbenah. rpohan@jurnas.com

[ Kembali ]

Minggu, 31 Agustus 2008

Pancasila Masih Dibutuhkan

Ideologi bangsa
Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 1 September 2008

Jakarta, Kompas - Pancasila masih dibutuhkan bangsa Indonesia. Namun, Pancasila saat ini cenderung hanya menjadi ideologi simbol dan belum menjadi ideologi yang bekerja.

Pancasila merupakan jawaban atas pluralisme. Ini makna penting Pancasila dalam proses transformasi bangsa Indonesia saat ini,” kata sosiolog dari Universitas Airlangga, Surabaya, Daniel Sparringa, Jumat (29/8), saat dihubungi dari Jakarta.

Arti penting Pancasila tersebut, lanjut dia, sama dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang merupakan jawaban atas faham multikulturalisme.

Namun, Pancasila saat ini cenderung hanya menjadi simbol ideologi. Ini karena ideologi yang mengiringi kelahirannya sekarang sudah tak berkembang. Kelima sila di Pancasila sebenarnya menggambarkan lima ideologi yang berkembang pada tahun 1940-an.

”Ironisnya, setelah 60 tahun, dari kelima ideologi itu, sekarang tidak ada yang berkembang pesat. Yang sekarang dominan justru kapitalisme atau liberalisme, faham yang sebenarnya banyak ditentang oleh para pendiri bangsa,” kata Daniel.

Sementara itu, dalam peluncuran buku Agus Sudono dalam Kancah Politik: Kerjasama Sipil dan MiIiter, Ambil alih Perusahaan-perusahaan Belanda dan Munculnya Gagasan Dwifungsi ABRI, pengamat politik dari Universitas Indonesia, Fachry Ali, mengatakan, kondisi saat ini berbeda dengan pengalaman kolektif bangsa Indonesia.

”Para pendiri bangsa menggali Pancasila dari model bangsa yang guyub. Namun, model itu sekarang sudah diganti dengan pasar bebas, liberalisme. Ini yang sekarang memunculkan sejumlah masalah bangsa,” ucap Fachry. (NWO)

[ Kembali ]

Jumat, 29 Agustus 2008

Koalisi Politik Baik bagi Ekonomi

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 29 Agustus 2008.

Oleh Umar Juoro

Menjelang Pemilu 2009 tokoh-tokok politik banyak berbicara mengenai kemungkinan koalisi politik. Belakangan ini kemungkinan koalisi politik dimunculkan oleh tokoh PDI-P dan Golkar. Sebelumnya beredar pendapat mengenai pentingnya koalisi politik ”permanen” di antara beberapa partai politik untuk menjamin kekompakan dan kinerja kabinet.

Jika para tokoh politik membicarakan koalisi pada umumnya adalah dalam rangka merebut kekuasaan, pertanyaan yang relevan bagi masyarakat banyak adalah apakah koalisi politik baik bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pertanyaan ini penting karena dari berbagai survei permasalahan ekonomi, terutama berkaitan dengan kesempatan kerja, harga kebutuhan pokok, dan kemiskinan merupakan isu utama yang menjadi perhatian para pemilih.

Efektif atau rapuh

Pengalaman kita dalam koalisi politik tidaklah banyak apalagi jika dikaitkan dengan keberhasilan dalam pembangunan ekonomi. Pengalaman yang jelas adalah bahwa mayoritas suara di DPR yang mendukung pemerintah adalah menentukan keberhasilan kebijakan ekonomi. Hal ini ditunjukkan pada masa pemerintahan Soeharto dan sedikit banyak dalam pemerintahan BJ Habibie.

Pada masa pemerintahan Soeharto para menteri ekonomi berkonsentrasi penuh dalam merencanakan dan mengimplementasikan kebijakan ekonomi tanpa diganggu oleh permasalahan politik. DPR yang didominasi Golkar yang loyal terhadap pemerintah memberikan jaminan dukungan politik parlemen. Sementara ABRI pada saat itu menjaga keamanan.

Pada masa pemerintahan BJ Habibie dalam situasi politik yang hiruk-pikuk dan krisis ekonomi yang dalam, kebijakan ekonomi dapat dikatakan efektif karena Golkar masih mendominasi DPR yang mendukung penuh pemerintah, sekalipun para demonstran menentang keabsahan DPR. Pada masa pemerintahan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), koalisi yang dibentuk dapat dikatakan rapuh sehingga bukan saja kebijakan ekonomi tidak dapat berjalan efektif, antara lain karena kurangnya dukungan politik, bahkan Gus Dur sendiri sebagai presiden kemudian dijatuhkan oleh MPR.

Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, sekalipun PDI-P tidaklah mayoritas, tetapi memiliki kursi terbanyak di DPR, stabilitas politik dan dukungan DPR terhadap kebijakan pemerintah cukup baik. Kebijakan ekonomi dalam banyak hal dapat lebih efektif dibandingkan dengan pemerintahan Gus Dur. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, koalisi politik yang dibentuk sebenarnya juga tidak efektif, tetapi karena presiden dipilih langsung dan Golkar sebagai partai dengan kursi terbanyak di DPR sepenuhnya mendukung pemerintah, sekalipun awalnya bukan merupakan bagian koalisi politik yang mengusung Yudhoyono, beberapa kebijakan ekonomi dapat efektif. Namun, dukungan koalisi sangatlah lemah, terutama pada saat kebijakan kontroversial, seperti kenaikan harga BBM, dilakukan.

Sistem politik campuran

Dari pengalaman tersebut jelaslah bahwa dukungan politik yang kuat dari DPR terhadap kebijakan pemerintah sangatlah diperlukan. Dukungan politik ini juga memberikan pesan kuat kepada birokrasi bahwa pemerintah secara politik harus kuat sehingga birokrasi dapat lebih digerakkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Begitu pula pesan kuat ini akan terasa di tingkat daerah dan masyarakat luas yang penting dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah.

Tentu saja mendapatkan dukungan politik yang kuat dari DPR sangatlah sulit dalam masa demokrasi terbuka ini. Membentuk koalisi juga tidaklah mudah. Namun, pesannya jelas semakin kuat dukungan politik baik itu didapatkan dari mayoritas suara di DPR maupun koalisi politik sangatlah penting bagi efektivitas kebijakan ekonomi. Sebagaimana juga di tingkat mikro perusahaan, kejelasan kekuatan pemegang saham mayoritas lebih baik bagi kinerja perusahaan dibandingkan dengan kepemilikan saham yang tersebar yang membuat manajemen tidak mempunyai kendali dan arahan yang jelas.

Apakah koalisi Golkar dan PDI-P mungkin terjadi? Mungkin saja, apalagi jika ditambah dengan partai Islam untuk menghindarkan dikotomi antara partai nasionalis dan Islam. Begitu pula bentuk koalisi ”permanen” lainnya. Penentuan calon presiden dari koalisi ini dapat dilakukan secara akal sehat atau yang umum dilakukan, yaitu partai pemenanglah yang berhak mendapatkan jatah capres.

Permasalahannya adalah sistem politik Indonesia adalah campuran antara parlementer dan presidensial sehingga koalisi partai sekalipun mayoritas dalam jumlah kursi di DPR belum tentu capres yang diajukan akan dipilih dalam pemilihan langsung. Namun, ini menjadi pembelajaran penting karena pemilih juga akan semakin terdidik akan pentingnya dukungan politik yang kuat bagi pembangunan ekonomi.

Jika pemilih memilih presiden tanpa dukungan kuat politik di DPR sekalipun dipilih langsung, akan sulit menjalankan kebijakan yang efektif. Demikian pula pesan kuat juga diberikan pemilih kepada parpol dan koalisi yang dibentuknya, jika pemilih tidak memilih presiden yang diajukannya kemungkinan adalah bukan saja capres itu tidak populer, tetapi juga koalisi tersebut tidak efektif atau tidak dihargai tinggi oleh pemilih.

Singkatnya, pembentukan koalisi politik akan lebih banyak memberikan manfaat bagi perkembangan demokrasi dan bagi dukungan terhadap efektivitas kebijakan ekonomi. Substansi politik adalah sarana bagi pencapaian tujuan bersama, yang berarti semakin kita dapat mengagregasikan dukungan, antara lain dalam bentuk koalisi ”permanen” yang tidak oportunistis akan semakin besar kemungkinan untuk mencapai tujuan bersama itu, khususnya dalam memajukan perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Umar Juoro Ketua Center for Information and Development Studies (Cides); Senior Fellow the Habibie Center

[ Kembali ]