Minggu, 21 September 2008

Syariat Substantif dalam Konstitusi

Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 22 September 2008
Oleh ZUHAERI MISRAWI

Sejak prakemerdekaan hingga era reformasi, tarikan dari sebagian kelompok yang menghendaki penggantian ideologi negara tidak pernah sepi. Justru dalam beberapa tahun terakhir, mereka yang menyuarakan hal tersebut makin terdengar dari pusat hingga daerah.

Meskipun demikian, dapat dipastikan bahwa mayoritas Muslim di Tanah Air adalah kalangan moderat, yang ekspresi keberagamaannya dapat ditemukan dalam Pancasila dan UUD 1945. Ideologisasi Islam di dalam negara mengacu pada substansinya, bukan pada doktrin formalnya yang kerap kaku, rigid, dan bertentangan dengan demokrasi dan hak asasi manusia.

Pandangan tersebut dapat ditemukan dalam buku Shari’a and Constitutional Reform in Indonesia karya Dr Nadirsyah Hosen, pakar hukum Islam yang kini mengajar di Universitas Wollongong, Australia.

Indonesia paling moderat

Buku ini merupakan kajian yang paling mendalam dan fokus tentang relasi antara syariat dan konstitusi. Salah satu kesimpulan yang bisa diambil dari buku ini adalah keluar dari perdebatan apologetik menuju kajian akademis yang diharapkan dapat memperkokoh keyakinan kita tentang diskursus terbaik dalam relasi syariat dan konstitusi, antara agama dan negara.

Sejauh ini ada tiga pandangan yang mengemuka perihal relasi antara syariat dan konstitusi. Pertama, paradigma fundamentalistik. Mereka yang menganut paradigma ini berpandangan, konstitusi harus berdasarkan Islam, sebagaimana diterapkan oleh Nabi dan para sahabatnya di Madinah, 15 abad yang lalu. Mereka juga memahami tidak ada pemisahan antara agama dan negara, sebagai Islam adalah agama dan negara (din wa dawlah).

Pandangan ini pada hakikatnya merupakan resistensi dan antitesis terhadap pandangan sekuler. Sebab, pandangan tersebut lahir dari rahim konspirasi Barat dan kolonialisme yang sengaja disebarkan untuk melawan Islam.

Negara yang secara konsisten menerapkan model ini adalah Arab Saudi. Di dalam konstitusi mereka disebutkan, Al Quran dan Sunah merupakan konstitusinya. Di dalam pasal lain disebutkan bahwa pemerintahan dalam Kerajaan Arab Saudi dibangun di atas premis keadilan, konsultasi, dan persamaan, sesuai dengan syariat Islam. Adapun Raja merupakan referensi utama bagi lembaga-lembaga politik, baik lembaga yudikatif, eksekutif, maupun regulatif.

Kedua, paradigma sekularistik. Mereka yang menganut paradigma ini menganggap Islam sebagai ajaran yang diterapkan dalam ranah privat dan individual. Tidak ada perintah yang bersifat eksplisit dan mengikat, baik dari Al Quran maupun Hadis, yang memerintahkan kita untuk menegakkan negara Islam. Hukum Islam hanya dapat diterapkan berdasarkan karisma seorang pemimpin, dan bukan melalui sistem konstitusional yang demokratis.

Negara yang memedomani paradigma ini adalah Turki. Meskipun mayoritas penduduknya adalah Muslim, dan partai terbesar adalah partai yang berbasis kalangan Muslim, yaitu Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), negara ini mempunyai komitmen yang kuat untuk menjadikan sekularisme sebagai pijakan utama dalam konstitusi mereka. Menggoyang dan menggantikan sekularisme sama halnya dengan menafikan eksistensi negara. Tokoh yang merupakan inspirasi mereka adalah Musthafa Kemal Ataturk.

Undang-undang di Turki dikodifikasi dengan berbagai konvergensi dari sistem sekuler dari berbagai negara. Undang-undang tentang sipil dan komersial diadopsi dari Swiss, undang-undang tentang administrasi dari Perancis, sedangkan undang-undang tentang pidana dari Italia. Di dalam konstitusi mereka disebutkan bahwa Turki adalah negara demokratis, sekuler, dan sosialis, yang diatur oleh hukum dengan mengutamakan konsep perdamaian, solidaritas nasional, hak asasi manusia dan loyal pada nasionalisme Ataturk. Maka, jika Arab Saudi merupakan wajah dari negara fundamentalis syariat, Turki dapat dikatakan sebagai fundamentalis sekuler.

Ketiga, paradigma moderat, atau biasa dikenal dengan paradigma jalan ketiga. Mereka berpandangan bahwa Islam harus dipahami sebagai nilai, kebajikan, kemaslahatan bersama (common good) dan tatanan moral. Sistem Islam dalam ruang publik, intinya adalah bertujuan untuk menegakkan kesetaraan di antara warga negara. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan tata negara diatur melalui syura (konsultasi yang bersifat demokratis).

Secara umum, paradigma ini merupakan wajah dari mayoritas negara-negara Islam. Setidaknya, menurut Nadir, ada empat negara yang mengadopsi pandangan moderat, yaitu Mesir, Afganistan, Irak, dan Indonesia.

Meskipun demikian, moderatisme yang dianut dalam konstitusi mereka juga terbelah dalam dua model, yaitu formalistik dan substansialistik. Kelompok formalistik adalah mereka yang menjadikan syariat sebagai sumber utama dalam konstitusi mereka, seperti Mesir, Afganistan, dan Irak. Meskipun ekspresi keberagamaan ketiga negara tersebut relatif moderat, yang paling kentara dalam konstitusi mereka adalah penetapan Islam sebagai dasar negara. Di satu sisi, mereka menjadikan syariat sebagai dasar negara, tetapi di sisi lain mereka menerima hak asasi manusia.

Yang paling spektakuler dari model moderat di atas adalah Indonesia. Sebab, meskipun negara ini merupakan salah satu negara yang paling besar penduduk Muslimnya, hal itu tidak menjadikan Islam atau syariat sebagai dasar negara, sebagaimana model syariat formalistik. Model yang digunakan dalam konstitusi adalah model substansialistik, yaitu menjadikan nilai-nilai Islam yang universal sebagai common ground atau common platform dengan agama-agama lainnya. Istilah yang dipilih adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.

Komitmen syariat substansialistik

Jika mengacu pada pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, yang dimaksud dengan sila tersebut adalah ketuhanan yang berkeadaban, yaitu ketuhanan yang dapat menghormati agama lain. Jadi, keislaman dimaknai sebagai elan vital untuk membangun spirit dialog dan kebersamaan. Apalagi dalam sebuah negara yang dikenal dengan kebhinnekaannya, baik dari segi agama, suku, maupun bahasa.

Sila pertama tersebut diperkuat dengan spirit kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan. Intinya, semua agama harus mampu membangun titik temu untuk tujuan bangsa yang lebih lintas agama, suku, dan bahasa. Di sini, konstitusi memberikan garansi kebebasan kepada setiap pemeluk agama untuk melakukan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya, sebagaimana tertera dalam Pasal 29 UUD 1945.

Dalam pasal tersebut ada dua hal yang ingin disampaikan, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara dan jaminan kemerdekaan kepada setiap warga negara untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya.

Model konstitusi yang seperti ini dapat berjalan dengan langgeng, dan didukung sepenuhnya oleh sebagian besar kalangan Muslim di Tanah Air. Meskipun sudah beberapa kali dilakukan amandemen, konstitusi tidak mengalami perubahan yang mengarah pada formalisasi syariat. Nuansa substansialistik merupakan paradigma yang mengemuka.

Menurut Nadirsyah, meskipun negara-negara Muslim lainnya menerapkan deklarasi Islam Universal tentang Hak Asasi Manusia di Cairo, yang mengadopsi model syariat formalistik, hal tersebut tidak bisa eksis dan tidak diakomodasi dalam amandemen kedua UUD 1945. Artinya, yang menjadi acuan utama adalah deklarasi hak asasi manusia, sebagaimana tertuang dalam pasal 28, yang menekankan dimensi nilai-nilai substansial agama, bukan ajaran formalnya. Bahkan, menurut Nadirsyah, yang dimaksud dengan nilai-nilai substansial agama tidak hanya mengacu pada Islam, tetapi juga mengacu pada agama-agama lainnya.

Meskipun demikian, upaya untuk mencantumkan kembali tujuh kata dalam Piagam Jakarta masih terus mengemuka, yang disponsori oleh partai-partai yang berasas Islam, seperti Partai Bulan Bintang dan Partai Persatuan Pembangun. Akan tetapi, upaya tersebut kandas karena ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat dan dua ormas Islam terbesar, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Pilihan terhadap Pancasila dan UUD 1945, menurut Nadirsyah, merupakan komitmen dari seluruh rakyat perihal paradigma moderat yang memahami syariat secara substansialistik. Sebagai pilihan moderat, Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara Islam. Pilihan tersebut pada hakikatnya sesuai dengan substansi syariat. Bagi kalangan Muslim, Pancasila sejalan dengan tujuan-tujuan utama syariat, yang dikenal dengan maqashid al-syariah.

Fakta konstitusional seperti itu membuktikan bahwa Islam pada hakikatnya tidak bertentangan dengan demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme. Islam secara substansial justru dapat memperkuat demokrasi, dan sebaliknya demokrasi dapat melindungi hak dasar dan hak hidup semua kelompok, dan yang tidak kalah pentingnya menjadi sumber inspirasi keadilan dan kesejahteraan sosial.

Buku ini secara fantastis telah memberikan harapan, bahwa konstitusi yang lahir dari Bung Karno dan para pendiri bangsa lainnya mampu melindungi kebhinnekaan, dan pada akhirnya menunjukkan bahwa Islam bukanlah lawan Barat dan demokrasi.

Ijtihad konstitusional ala Indonesia pada akhirnya harus menginspirasi dunia Islam, baik yang fundamentalistik maupun sekularistik, agar meletakkan Islam dalam bentuknya yang substansialistik, bukan yang bersifat formalistik.

Zuhairi Misrawi Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia

[ Kembali ]

Kamis, 04 September 2008

Pelajaran dari Pasal 76

Diunduh dari Harian KOMPAS, Kamis, 4 September 2008
Oleh Makmur Keliat

Empat tahun UU TNI telah dikeluarkan. Yang amat kontroversial adalah Pasal 76. Pasal 76 mewajibkan pemerintah mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola TNI baik langsung atau tak langsung.

Kontroversi atas pasal ini melahirkan beberapa hal. Pertama, tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan bisnis TNI. Penjelasan atas pasal ini hanya menyebutkan ”sudah jelas”. Kedua, meski UU TNI sudah berlaku selama empat tahun, pemerintah hingga kini belum bertindak nyata untuk mengambil alih.

Sejauh yang dapat dicermati, tanggapan pemerintah atas pasal ini adalah melalui pembentukan Tim Supervisi dan Transformasi Bisnis TNI (TSTB) dan pembentukan Tim Nasional (Timnas) Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI. TSTB dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Pertahanan tahun 2005 dan telah menyelesaikan tugas identifikasinya. Timnas dibentuk melalui Keppres tahun 2008. Namun, kedua tim ini belum diberi wewenang untuk mengeksekusi Pasal 76.

Bagaimana menjelaskan kontroversi ini? Mengapa pasal itu hingga kini belum dieksekusi? Tidak ada penjelasan tunggal untuk menjawab berbagai pertanyaan ini. Maka, yang muncul adalah penjelasan- penjelasan yang bersifat spekulatif.

Empat spekulasi

Spekulasi pertama lahir dari kualitas pembuatan legislasi itu sendiri. Tidak adanya penjelasan tentang pasal ini disebutkan sebagai simbol dari kualitas yang memprihatinkan dari para legislator kita dalam membuat undang-undang. Undang-undang menjadi tidak operasional dan menjadi ”bom waktu” yang menyulitkan pemerintah. Ketidakjelasan bunyi Pasal 76 menjadi sebab mengapa pemerintah (dalam hal ini presiden) tidak dapat segera mengoperasionalkannya.

Pemerintah harus lebih dulu merumuskan apa yang dimaksud dengan bisnis TNI, makna kepemilikan, pengelolaan secara langsung atau tidak langsung. Setelah pemaknaan ini jelas, baru dilakukan pengidentifikasian, jumlah unit bisnis yang memiliki keterkaitan dengan TNI. Pembentukan TSTB dan Timnas dimaksudkan untuk mengurai benang kusut yang ditinggalkan pasal itu. Kesimpulannya: lembaga legislatif harus ikut menanggung beban mengapa eksekusi pengambilalihan belum dilakukan hingga kini.

Spekulasi kedua berusaha menjelaskan dari motif ekonomi. Eksekusi belum dilakukan karena memberi waktu bagi semua kegiatan bisnis melakukan metamorfosis. Pasal 76 memberi rentang waktu amat panjang untuk eksekusi, yaitu hingga 16 Oktober 2009. Karena itu, secara hukum tidak ada keharusan bagi presiden untuk segera mengeksekusi. Rentang waktu panjang ini dapat digunakan untuk mengubah status dokumen hukum dari ”bisnis” yang terkait TNI.

Pilihan metamorfosis juga dianggap sebagai jalan tengah untuk meminimalkan beban keuangan negara. Jika eksekusi segera dilakukan empat tahun lalu, ada kecemasan bahwa seluruh unit yang diambil alih itu ternyata rugi, memiliki utang besar, dan mengakibatkan tekanan beban anggaran yang kian besar. Tindakan seperti itu akan mengulangi pengalaman masa krisis finansial saat pemerintah melakukan pengambilalihan terhadap bisnis perbankan. Konklusi akhir dari penjelasan seperti ini adalah bahwa jika nantinya eksekusi pengambilalihan dilakukan, jumlah unit dan kekayaan yang diambil alih tidak terlalu besar dan dilakukan hanya untuk memenuhi ketentuan hukum.

Spekulasi ketiga terkait kepentingan stabilitas institusional TNI sendiri. Penjelasan berawal dari banyaknya jumlah personel TNI, diperkirakan mencapai 30.000 orang. Tidaklah mudah mengalihkan jumlah besar personel untuk masuk ke institusi TNI. Pengalihan harus dilakukan dengan menyiapkan kerangka kelembagaan serta phasing out-nya. Jika ini tidak dapat dilakukan, akan mengakibatkan dinamika dan instabilitas institusional di TNI. Kesimpulan dari penjelasan ini adalah pengambilalihan harus dilakukan secara hati-hati, membutuhkan waktu, dan menghindarkan seminimum mungkin terjadinya instabilitas institusional di lingkungan TNI.

Spekulasi keempat terkait karakter kepemimpinan nasional sebagai safety player dalam kompetisi politik nasional. Berbeda penjelasan lain, tanggung jawab dari pelambatan pengambilalihan sepenuhnya ada di tangan presiden. Karakternya yang amat hati-hati dan cenderung untuk menyenangkan semua pihak telah mengakibatkan formulasi eksekusi pengambilalihan harus dibuat seideal mungkin. Keharusan seperti ini membutuhkan waktu untuk perumusan. Dari sisi ini, pembentukan TSTB dan Timnas yang tidak diberi wewenang untuk melakukan eksekusi adalah simbol dari karakter psikologis itu.

Penjelasan itu juga menyebutkan sebenarnya amat sederhana untuk mengeksekusi pengambilalihan jika presiden menjadi seorang yang mengambil risiko, yaitu dengan menggunakan otoritasnya sebagai Panglima Tertinggi TNI. Konklusi akhir dari penjelasan ini adalah ”bola” pengambilalihan bisnis TNI kini sepenuhnya di tangan presiden.

Tebang semuanya?

Kompetisi dari empat wacana inilah yang kini mewarnai diskusi tentang pengambilalihan bisnis TNI. Terlepas dari spekulasi mana yang paling reliable, pelajaran terpenting yang dapat dipetik adalah negeri ini masih jauh dari negara hukum. Saat suatu hukum hendak diimplementasikan, kita cenderung ”berwacana”, bukan segera melaksanakan ketentuan itu. Sebagai suatu makna, hukum pada dasarnya adalah melegalkan proses politik. Namun, ketika proses politik sudah selesai bekerja, yaitu saat sudah menjadi UU, hukumlah yang harus bekerja.

Kontroversi Pasal 76 juga merupakan simbol ketidakmampuan kita untuk menarik garis demarkasi semacam itu. Ketidakmampuan itu tampaknya tidak hanya tipikal pada pengaturan atas aktor keamanan, tetapi juga hampir mencakup pengaturan seluruh aktor dalam bidang kehidupan lain. Itu sebabnya, mungkin kalimat ”tebang semuanya” tidak pernah dilakukan karena dianggap menjadi yang melukai diri sendiri (self-defeating).

MAKMUR KELIAT Pengajar di FISIP Universitas Indonesia

[ Kembali ]

Hikmah

Kolom Jendela 234
Diunduh dari Harian Jurnal Nasional, Jakarta | Kamis, 04 Sep 2008
by : Ramadhan Pohan
KETIKA 10 tahun silam bangsa Indonesia memutuskan diri mengambil jalan reformasi, demokrasi, dan menanggalkan otoritarianisme, itu tindakan brilian. Tak sekadar historis. Demokrasi mencerdaskan dan membukakan pikiran bangsa untuk sebuah kehidupan yang lebih baik. Kita menolak kejumudan. Menampik doktrin buta. Sebaliknya, demokrasi memberikan ruang seluasnya bagi negeri ini mengolah diri, memperindah diri. Tujuan akhirnya pastilah kemakmuran dan kesejahteraan Indonesia.

Tapi, ketika kita masuki dan jalani era reformasi, nyaris semua elemen bangsa terlalu larut dalam kegembiraan, euphoria. Seolah-olah mengganti Soeharto sudah menjadi jaminan penyelesaian semua masalah. Terlalu yakin bahwa problem bangsa ini hanya tertumpu di sosok Soeharto belaka. Jadilah seluruh energi dan perhatian seantero Indonesia fokus pada Soeharto dan segala isu mengitarinya. Bangsa ini seakan lupa bahwa ada banyak persoalan lain yang harus cepat dan serius ditangani. Abai sedemikian banyak pe-er yang mestinya segera dibereskan supaya reformasi tidak salah jalan, stagnan dan salah kaprah. Contohnya sederhana saja. Hanya setahun setelah reformasi, politik Indonesia berubah total dan langsung disambut dengan Pemilu 1999. Benar-benar pesta rakyat. Pesta dalam pengertian yang paling harfiah. Diikuti banyak parpol. Melibatkan nyaris seluruh penduduk negeri, semua orang berpolitik. Berpesta.

Pemilu dilakukan tanpa kesiapan perangkat peraturan yang kokoh, solid, tegas agar tidak berbenturan satu sama lain. Pikiran semua orang terlalu didominasi politik sesaat. Kemaruk. Seolah segala kesumpekan, kebekuan dan belenggu masa lalu yang kini copot hendak dilampiaskan total dan habis-habisan. Mestinya ada rumusan bersama dari seluruh kekuatan, elemen bangsa merumuskan dulu apa saja yang harus disiapkan dan dilakukan supaya reformasi dan demokrasi kita terkonsep baik, solid dan permanen. Ini yang tidak terjadi.

Politik sesaat dan elementer yang justru dominan. Saat itu rekrutmen dan kaderisasi pun berlangsung dadakan dan banyak asal comot belaka. PDIP yang dipimpin Megawati Soekarnoputri mendadak top dan jadi tumpuan semua orang. Siapa saja, lebih-lebih mereka yang pengangguran, berlomba-lomba masuk parpol. Mereka melihatnya sebagai representasi anti-Soeharto, representasi kaum tertindas. Klaim itu tidak direkayasa, datang begitu saja. Namun, banyak pula yang bergabung karena memang tidak punya pekerjaan jelas. Sehingga, parpol tersebut bisa menjadi sandaran dan tumpuan hidup sekaligus.

Namun, saking terburu-burunya, gagap dan tanpa perhitungan kuat, parpol ini tidak selektif merekrut kader dan calon legislatifnya baik pusat hingga daerah. Begitu pula banyak parpol lainnya, condong asal-asalan merekrut kader dan fungsionarisnya. Parpol-parpol baru yang memiliki kader dan fungsionaris intelek malah jadi elitis, eksklusif dan mengawang-awang. Jauh dari harapan dan kehidupan ril masyarakat. Sehingga tak menarik minat banyak pemilih, karenanya tak punya perwakilan cukup di parlemen. Jadi, itulah masa di mana ada parpol popular yang perekrutannya amburadul dan kebanyakan parpol lainnya punya kader dan politisi bagus namun tidak populer di massa pemilih yang kebanyakan berpendidikan rendah dan belum berpikiran maju. Padahal, politik adalah riil, yaitu menang pemilu dan menempatkan sebanyak mungkin orangnya di parlemen.

Pada saat bersamaan, Golkar dan PPP saat itu dianggap partai tua, konservatif dan sisa politik jadul. Kedua parpol ini sudah mempunyai standar yang jelas dan sudah berpengalaman mengelola partai. Kelemahannya hanya satu, ia dianggap produk lama alias barang tua. Sehingga, tak menarik minat tinggi publik dan massa pemilih.

Apa yang terjadi? Di pusat dan daerah, parlemen diisi oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang cukup mumpuni. Banyak anggota Dewan yang hanya tamat SMP, SMA dan dari latar pekerjaan kasar, buruh, preman dan mereka yang sebelumnya tidak pernah terlibat dalam politik. Mendadak mereka diberi tugas luar biasa berat, bikin undang-undang! Peraturan dan hukum yang mengikat seluruh rakyat diamanahkan pada kalangan politisi dadakan yang sama sekali tidak berlatar dan bermodal pendidikan yang cukup.

Sepuluh tahun sudah berlalu. Banyak pengalaman dan pelajaran mestinya ditarik sebagai hikmah. Masih harus berbenah. rpohan@jurnas.com

[ Kembali ]