Tapi, ketika kita masuki dan jalani era reformasi, nyaris semua elemen bangsa terlalu larut dalam kegembiraan, euphoria. Seolah-olah mengganti Soeharto sudah menjadi jaminan penyelesaian semua masalah. Terlalu yakin bahwa problem bangsa ini hanya tertumpu di sosok Soeharto belaka. Jadilah seluruh energi dan perhatian seantero Indonesia fokus pada Soeharto dan segala isu mengitarinya. Bangsa ini seakan lupa bahwa ada banyak persoalan lain yang harus cepat dan serius ditangani. Abai sedemikian banyak pe-er yang mestinya segera dibereskan supaya reformasi tidak salah jalan, stagnan dan salah kaprah. Contohnya sederhana saja. Hanya setahun setelah reformasi, politik Indonesia berubah total dan langsung disambut dengan Pemilu 1999. Benar-benar pesta rakyat. Pesta dalam pengertian yang paling harfiah. Diikuti banyak parpol. Melibatkan nyaris seluruh penduduk negeri, semua orang berpolitik. Berpesta.
Pemilu dilakukan tanpa kesiapan perangkat peraturan yang kokoh, solid, tegas agar tidak berbenturan satu sama lain. Pikiran semua orang terlalu didominasi politik sesaat. Kemaruk. Seolah segala kesumpekan, kebekuan dan belenggu masa lalu yang kini copot hendak dilampiaskan total dan habis-habisan. Mestinya ada rumusan bersama dari seluruh kekuatan, elemen bangsa merumuskan dulu apa saja yang harus disiapkan dan dilakukan supaya reformasi dan demokrasi kita terkonsep baik, solid dan permanen. Ini yang tidak terjadi.
Politik sesaat dan elementer yang justru dominan. Saat itu rekrutmen dan kaderisasi pun berlangsung dadakan dan banyak asal comot belaka. PDIP yang dipimpin Megawati Soekarnoputri mendadak top dan jadi tumpuan semua orang. Siapa saja, lebih-lebih mereka yang pengangguran, berlomba-lomba masuk parpol. Mereka melihatnya sebagai representasi anti-Soeharto, representasi kaum tertindas. Klaim itu tidak direkayasa, datang begitu saja. Namun, banyak pula yang bergabung karena memang tidak punya pekerjaan jelas. Sehingga, parpol tersebut bisa menjadi sandaran dan tumpuan hidup sekaligus.
Namun, saking terburu-burunya, gagap dan tanpa perhitungan kuat, parpol ini tidak selektif merekrut kader dan calon legislatifnya baik pusat hingga daerah. Begitu pula banyak parpol lainnya, condong asal-asalan merekrut kader dan fungsionarisnya. Parpol-parpol baru yang memiliki kader dan fungsionaris intelek malah jadi elitis, eksklusif dan mengawang-awang. Jauh dari harapan dan kehidupan ril masyarakat. Sehingga tak menarik minat banyak pemilih, karenanya tak punya perwakilan cukup di parlemen. Jadi, itulah masa di mana ada parpol popular yang perekrutannya amburadul dan kebanyakan parpol lainnya punya kader dan politisi bagus namun tidak populer di massa pemilih yang kebanyakan berpendidikan rendah dan belum berpikiran maju. Padahal, politik adalah riil, yaitu menang pemilu dan menempatkan sebanyak mungkin orangnya di parlemen.
Pada saat bersamaan, Golkar dan PPP saat itu dianggap partai tua, konservatif dan sisa politik jadul. Kedua parpol ini sudah mempunyai standar yang jelas dan sudah berpengalaman mengelola partai. Kelemahannya hanya satu, ia dianggap produk lama alias barang tua. Sehingga, tak menarik minat tinggi publik dan massa pemilih.
Apa yang terjadi? Di pusat dan daerah, parlemen diisi oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang cukup mumpuni. Banyak anggota Dewan yang hanya tamat SMP, SMA dan dari latar pekerjaan kasar, buruh, preman dan mereka yang sebelumnya tidak pernah terlibat dalam politik. Mendadak mereka diberi tugas luar biasa berat, bikin undang-undang! Peraturan dan hukum yang mengikat seluruh rakyat diamanahkan pada kalangan politisi dadakan yang sama sekali tidak berlatar dan bermodal pendidikan yang cukup.
Sepuluh tahun sudah berlalu. Banyak pengalaman dan pelajaran mestinya ditarik sebagai hikmah. Masih harus berbenah. rpohan@jurnas.com
[ Kembali ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar